Lebih Baik Agroforestri atau Mini-Farming Serangga?

Memanen Serangga dari Alam

Selain dikumpulkan dari alam, serangga juga banyak dikembangkan dalam industri peternakan (Oonincx dan de Boer 2012). Saat ini, banyak negara yang sedang meneliti potensi pengembangan minifarming dari bisnis serangga sebagai kebutuhan dalam menemukan sumber protein alternatif. Sumber protein alternatif ini diperlukan karena permintaan akan produk daging meningkat, sementara luas lahan yang tersedia untuk produksi ternak terbatas (van Huis 2015). Pertanyaannya kemudian adalah apakah produksi serangga sebagai sumber protein alternatif lebih ramah lingkungan daripada produksi hewan konvensional? (Abbasi dan Abbasi 2016; Gahukar 2016)

Sebagian besar dari sekitar 2.100 spesies serangga yang dikonsumsi oleh manusia di daerah tropis (Jongema 2012) dipanen dari alam (hutan, saluran air, atau ladang pertanian). Memanfaatkan sumber pangan langsung dari alam seharusnya juga turut memperhatikan life-cycle dan ketersediaan populasi serangga dengan ekologinya. Sebagai contoh, penggunaan pestisida dalam mengendalikan ulat hutan harus lebih diperhatikan, karena mereka adalah sumber protein, mineral dan vitamin. 

Memanen Serangga dari Agroforestri

Biasanya petani dalam mengendalikan populasi hama serangga menggunakan bahan kimia. Namun, jika hama serangga tersebut padahal bisa dimakan, mengapa tidak mengendalikannya dengan memanen untuk pangan dan pakan? Keuntungannya ada tiga: (1) nutrisi, berkontribusi dalam ketahanan pangan; (2) ekonomis karena tidak perlu membeli pestisida; dan (3) lingkungan, karena tidak ada kontaminasi pestisida, sehingga pencegahan hama atau wabah sekunder dapat dicegah. Sebagai contoh belalang Meksiko, Sphenarium purpurascens Charpentier (Orthoptera: Pyrgomorphidae), spesies ini adalah hama jagung, kacang, labu, dan alfalfa di Meksiko tengah dan selatan. Namun, serangga ini juga telah dieksploitasi untuk konsumsi manusia sejak zaman prasejarah. Saat ini, 200 ton dikonsumsi per tahun (Cerritos dan Cano-Santana 2008). Jika spesies ini dipanen dari lebih dari 1 juta ha agroekosistem ini di Meksiko, potensi hasil tahunan adalah 350.000 ton. Oleh karena itu, Cerritos Flores et al. (2015) mengusulkan mengubah praktik dari kontrol kimia ke mekanis.

Di Thailand, spesies belalang bombay, Nomadacris succincta (Johannson) (Orthoptera: Acrididae) adalah hama utama tanaman jagung dan sorgum antara tahun 1960 dan 1970 (Chen et al. 1998). Penyemprotan pestisida yang dilakukan saat itu, tidak berhasil mengendalikan hama, sehingga pada tahun 1978-1981 dilakukan kampanye untuk menghidupkan kembali praktik lama di masa lalu, yaitu, menangkap dan memakan belalang (Hanboonsong 2010). Petani mulai mengumpulkannya untuk konsumsi pribadi dan sebagai komoditas pasar; karenanya, tidak lagi dianggap sebagai hama. Sebaliknya, kini justru masyarakat Thailand mengonsumsi banyak sekali belalang bombay, hingga mengiimpor 170 ton/tahun dari Kamboja (Hanboonsong et al. 2013).

Namun meski demikian, memanen serangga dari alam memiliki bahaya yaitu eksploitasi berlebihan yang dapat mengerosi genetik membahayakan panen di masa depan. Di Australia, semut madu dan belatung kayu (baik Lepidoptera dan Coleoptera) adalah spesies serangga penting yang dapat dimakan untuk penduduk asli (Yen 2005; Yen et al. 2018). Namun, peningkatan eksploitasi oleh penduduk asli, untuk restoran dan untuk ekowisata, mengancam ketersediaan mereka. Ramos-Elorduy (2006) mencatat 18 spesies serangga dari negara bagian Hidalgo, Meksiko, terancam oleh polusi, perubahan habitat, dan eksploitasi berlebihani ini disebut “defaunasi antroposen” (van Vliet et al. 2016), atau manusia penyebab penurunan/kepunahan populasi suatu spesies. Serangga akuatik yang populasinya terancam karena polusi; dan spesies ulat bulu di Afrika, yang menghilang karena eksploitasi berlebihan dan pembalakan; spesies serangga yang dapat dimakan dianggap sebagai hama di agroekosistem. Hal ini tentu menjadi dilematis dalam perkembangan serangga di masa depan menjadi pakan alternatif dalam teknologi minifarming-livestock ataupun harvesting from nature, karena bisa jadi hali ini menyebabkan ledakan populasi suatu serangga menjadi tidak terkendali atau justru menyebabkan erosi bahkan kepunahan sumber genetik suatu serangga.

Melestarikan dan Meningkatkan Ketersediaan Populasi Serangga

Konservasi dan peningkatan edible serangga dari alam juga harus mempertimbangkan hubungan yang kompleks dan dinamis antara ekosistem, kolektor, konsumen, pedagang, produsen kayu, dan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi keadaaan sosial masyarakat (van Vliet et al. 2016). Fokus dalam pengembangan serangga tidak harus semata-mata pada hasil maksimum berdasarkan prinsip-prinsip ekologis, namun juga dapat dilihat pada interaksi sosial dengan kearifan lokal yang mengarah pada pengelolaan dan tata kelola sumber daya lestari. Dalam pengembangan praktik agroforestri tentunya memerlukan lembaga untuk mengawasi penguasaan, akses, dan peraturan terkait terkait pengelolaan konflik antara pemangku kepentingan (Vantomme et al. 2004; Lindsey et al. 2013). (Vinceti et al. 2013) mempertimbangkan tantangan beberapa dekade mendatang pada agroforesti pengembangan serangga yang kuat berakar pada budaya pedesaan:

  • Memelihara spesies satwa liar dalam jaringan kawasan lindung dan
  • Memenuhi permintaan pedesaan akan protein melalui pemanenan berkelanjutan.

Pada dasarnya, pemeliharaan spesies serangga berbasis hutan dan tanaman inang memang menghasilkan hasil yang baik dengan sedikit usaha, namun agar dapat memenuhi permintaan pasar jumlah yang diperlukan akan sangat besar dan butuh keberlanjutan. Sehingga seharusnya pengembangan serangga perlu diternakkan. Kemudian, dalam beternak serangga hendaknya memperhatikan sistem konsep sustainability dan zero waste, harapannya memang pertama untuk keberlanjutan usaha peternakan dan potensi ekonomi yang lebih tinggi. Namun, kemudian yang juga tidak kalah penting adalah agar populasi ternak serangga tetap berada di dalam sistem produksi peternakan, tidak dilepaskan sembarang ke alam, karena pada dasarnya beberapa edible serangga adalah hama pertanian.

Referensi

Abbasi T, Abbasi SA. 2016. Reducing the global environmental impact of livestock production: The minilivestock option. J. Clean. Prod.

Ayemele AG, Muafor FJ, Levang P. 2017. Indigenous management of palm weevil grubs (Rhynchophorus phoenicis) for rural livelihoods in Cameroon. J. Insects as Food Feed.

Cerritos Flores R, Ponce-Reyes R, Rojas-García F. 2015. Exploiting a pest insect species Sphenarium purpurascens for human consumption: Ecological, social, and economic repercussions. J. Insects as Food Feed.

Cerritos R, Cano-Santana Z. 2008. Harvesting grasshoppers Sphenarium purpurascens in Mexico for human consumption: A comparison with insecticidal control for managing pest outbreaks. Crop Prot.

Chen P, Wongsiri S, Jamyanya T, Rinderer T, Vongsamanode S, Matsuka M, Sylvester A, Oldroyd B. 1998. Honey bees and other edible insects used as human food in Thailand. Am. Entomol.

Gahukar RT. 2016. Edible Insects Farming: Efficiency and Impact on Family Livelihood, Food Security, and Environment Compared With Livestock and Crops. Di dalam: Insects as Sustainable Food Ingredients.

Hanboonsong Y. 2010. Edible insects and associated food habits in Thailand. For. insects as food humans bite back.

Hanboonsong Y, Jamjanya T, Durst PB. 2013. Six-legged livestock : edible insect farming , collecting and marketing in Thailand.

van Huis A. 2015. Edible insects contributing to food security? Agric. Food Secur.

van Huis A, Oonincx DGAB. 2017. The environmental sustainability of insects as food and feed. A review. Agron. Sustain. Dev.

Jongema Y. 2012. List of edible insects of the world (April 1, 2017). WUR.

Lindsey PA, Balme G, Becker M, Begg C, Bento C, Bocchino C, Dickman A, Diggle RW, Eves H, Henschel P, et al. 2013. The bushmeat trade in African savannas: Impacts, drivers, and possible solutions. Biol. Conserv.

Oonincx DGAB, de Boer IJM. 2012. Environmental Impact of the Production of Mealworms as a Protein Source for Humans – A Life Cycle Assessment. PLoS One.

Ramos-Elorduy J. 2006. Threatened edible insects in Hidalgo, Mexico and some measures to preserve them. J. Ethnobiol. Ethnomed.

Vantomme P, Göhler D, N’Deckere-Ziangba F. 2004. Contribution of forest insects to food security and forest conservation: The example of caterpillars in Central Africa. ODI Wildl. Policy Brief.

Vinceti B, Termote C, Ickowitz A, Powell B, Kehlenbeck K, Hunter D. 2013. The contribution of forests and trees to sustainable diets. Sustain.

van Vliet N, Cornelis D, Beck H, Lindsey P, Nasi R, LeBel S, Moreno J, Fragoso J, Jori F. 2016. Meat from the Wild: Extractive Uses of Wildlife and Alternatives for Sustainability.

Yen A, Bilney C, Shackleton M, Lawler S. 2018. Current issues involved with the identification and nutritional value of wood grubs consumed by Australian Aborigines. Insect Sci.

Yen AL. 2005. Insect and other invertebrate foods of the Australian Aborigines. Ecol. Implic. minilivestock potential insects, rodents, frogs snails.